Urgensi Penentuan Unsur Kesalahan Dalam Sanksi Pidana Undang-Undang Kearsipan

Penulis rio
Jumat 11 November 2022

Dalam hukum pidana, kesalahan adalah dasar pencelaan terhadap sikap batin seseorang. Asas kesalahan (culpabilitas) sebagai salah satu asas fundamental dalam hukum pidana yang pada prinsipnya menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana tanpa adanya kesalahan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki kesalahan apabila sikap batinnya dapat dicela atas perbuatan melawan hukum yang dilakukannya (sikap batin yang jahat/tercela). Kesalahan sebagai salah satu syarat pemidanaan merupakan kesalahan dalam pengertian yuridis, bukan kesalahan dalam pengertian moral atau sosial.

 

Menurut Robert Cooter dan Thomas Ullen mengenai skala kesalahan (culpability scale), dapat dikatakan bahwa pelanggaran administratif berada pada posisi antara carefull-blameless dan negligent – reckless. Merujuk pada culpability scale, ketentuan pidana dalam UU Kearsipan seharusnya tetap membedakan secara tegas perbuatan administratif yang merupakan kesengajaan (dolus) dan yang merupakan kelalaian (culpa). Menurut Wirjono Prodjodikoro, kesengajaan (dolus) terbagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu:

  1. Kesengajaan yang bersifat tujuan (opzet als oogmerk). Dalam kesengajaan yang bersifat tujuan, dapat dikatakan bahwa si pelaku benar-benar menghendaki mencapai akibat yang menjadi pokok alasan diadakan ancaman pidana.
  2. Kesengajaan secara keinsafan kepastian (opzet bij zekerheids-bewustzijn). Kesengajaan semacam ini ada apabila si pelaku dengan perbuatannya tidak bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delict, tapi ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
  3. Kesengajaan keinsafan kemungkinan (opzet bij mogelijkheids-bewustzijn). Kesengajaan ini dianggap terjadi apabila dalam gagasan si pelaku hanya ada bayangan kemungkinan belaka, bahwa akan terjadi akibat yang bersangkutan tanpa dituju.

 

Sedangkan kelalaian (culpa) adalah “kesalahan pada umumnya”. Tetapi dalam ilmu pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si pelaku tindak pidana yang tidak seberat kesengajaan, namun karena kurang berhati-hati, sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi. Terkait kelalaian (culpa), Andi Hamzah menerangkan bahwa siapa karena salahnya melakukan kejahatan berarti tidak mempergunakan kemampuannya yang seharusnya dipergunakan. Jika merujuk pada pendapat Wirjono Prodjodikoro mengenai kesengajaan (dolus) dan kelalaian (culpa) dan dihubungkan dengan rumusan ketentuan pidana dalam UU Kearsipan maka akan menghasilkan gambaran sebagai berikut:

 

Tabel 2

Unsur Kesalahan Dalam Ketentuan Pidana UU Kearsipan

 

PASAL

NORMA

SANKSI

DOLUS

CULPA

81

menguasai dan/atau memiliki arsip negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 untuk kepentingan sendiri atau orang lain yang tidak berhak

 

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

×

82

menyediakan arsip dinamis kepada pengguna arsip yang tidak berhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1)

 

pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah)

×

83

tidak menjaga keutuhan, keamanan dan keselamatan arsip negara yang terjaga untuk kepentingan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3)

 

 

dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah)

×

84

tidak melaksanakan pemberkasan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1)

 

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

×

85

tidak menjaga kerahasiaan arsip tertutup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)

 

×

86

memusnahkan arsip di luar prosedur yang benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2)

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

 

×

87

memperjualbelikan atau menyerahkan arsip yang memiliki nilai guna kesejarahan kepada pihak lain di luar yang telah ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53

 

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

×

×

88

Pihak ketiga yang tidak menyerahkan arsip yang tercipta dari kegiatan yang dibiayai dengan anggaran negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3)

 

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

×

×

 

Berdasarkan tabel diatas, terlihat bahwa rumusan ketentuan pidana dalam UU Kearsipan hanya berfokus pada perbuatan dengan sengaja untuk 6 (enam) tindak pidana pertama, sedangkan 2 (dua) tindak pidana lain dalam Pasal 87 dan Pasal 88 tidak jelas unsur mens rea (kesalahan) pelaku. Dari rumusan ketentuan pidana dalam UU Kearsipan, terdapat beberapa pasal yang selayaknya dipertimbangkan kemungkinan unsur kelalaian (culpa) sebagai berikut:

  1. Dalam rumusan Pasal 81 terkait menguasai dan/atau memiliki arsip negara untuk kepentingan sendiri atau orang lain yang tidak berhak, selayaknya dipertimbangkan kemungkinan unsur kelalaian merujuk dimana terdapat beberapa pejabat pemerintah atau pegawai negeri sipil yang memasuki masa purna tugas karena ketidaktahuannya membawa serta beberapa arsip milik negara di luar personal file miliknya.
  2. Dalam rumusan Pasal 86 terkait dengan pemusnahan arsip di luar prosedur yang benar, juga layak untuk dipertimbangkan kemungkinan unsur kelalaian. Seperti halnya pada kasus arsip surat keterangan KTP sementara Ibu Susi Pudjiastuti yang menjadi bungkus gorengan, banyak pegawai pemerintah yang tidak memahami bagaimana mekanisme pemusnahan arsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Banyak pemahaman bahwa arsip milik negara yang sudah tidak terpakai dapat langsung dibuang atau dibakar.
  3. Dalam Pasal 87 dan Pasal 88 layak untuk dipertimbangkan kemungkinan unsur kelalaian karena kurangnya pengetahuan dan perbuatan yang lebih bersifat administratif.

 

Dalam sistem birokrasi di Indonesia, telah diberlakukan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Dalam Bab VIII Undang-Undang tersebut tidak ada satu pun ketentuan yang bersifat represif kecuali hanya bersifat rehabilitatif-administratif dan korektif. Kekeliruan dalam menentukan unsur kesalahan dalam rumusan ketentuan pidana dapat mengakibatkan ketentuan dalam UU Kearsipan menjadi UU Pidana Administratif yang cenderung lebih represif daripada seharusnya (bersifat preventif, rehabilitatif dan korektif). Tujuan pemidanaan klasik yaitu penghukuman untuk membuat efek jera tanpa diimbangi tujuan rehabiltatif dan korektif sesungguhnya telah lama ditinggalkan karena dalam kenyataan bersifat kontra produktif kecuali terhadap perbuatan pelanggaran serius yang berdampak luas terhadap keamanan dan perlindungan negara. Dengan kata lain bahwa UU Kearsipan telah menyimpang dari maksud dan tujuan awal diperlukannya Undang-Undang ini yaitu menjamin pelindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan rakyat serta peningkatan kualitas pelayanan publik.


 


Search